Pemakaian Perangkat Lunak (Software) Bajakan dan Kasih kepada Sesama
Saya sering mendengar di Indonesia ini orang berkata, “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya”, kalau saya tidak salah, pernyataan tersebut berasal dari agama tertentu. Dalam agama yang lain saya menemukan padanannya, yaitu “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Bagaimana kalau pemakaian perangkat lunak bajakan yang sudah memasyarakat dipandang dari sudut pandang kasih kepada sesama atau manfaat bagi sesama. Inilah yang coba saya uraikan.
Beberapa alasan umum tentang mengapa orang memakai perangkat lunak bajakan adalah sebagai berikut: harganya terjangkau; lebih mudah ditemukan; semua orang melakukannya, termasuk yang orang dihormati; bisa dipakai berulang-ulang; dan lain sebagainya. Namun berdasarkan kasih kepada sesama apakah hal-hal tersebut dapat dibenarkan?
Mari membandingkan tujuan adanya Hak Cipta dari Undang-undang Hak Cipta (Copyright Act) pada tahun 1976 yang dikeluarkan dalam Kongres Amerika, yang mulai berlaku tahun 1978. Pada dasarnya, hak cipta memiliki 2 tujuan, yaitu: “Pertama, melindungi hak pencipta untuk mendapatkan keuntungan secara komersil, dan kedua, melindungi hak pencipta untuk mengendalikan bagaimana karyanya digunakan.”
Sejatinya undang-undang hak cipta bertujuan melindungi pencipta agar tetap mendapatkan keuntungan secara komersil. Oleh sebab itu, demi kasih terhadap sesama, para pemakai perangkat lunak bajakan harus memperhatikan apakah pencipta dari perangkat yang dipakainya dirugikan secara komersil. Menurut saya, yang paling merugikan pencipta adalah orang-orang yang membajak karya mereka dan menjualnya semata-mata mencari keuntungan pribadi. Namun penjual tersebut hadir karena ada pembelinya. Jadi para pengusaha “perangkat lunak (software )bajakan” akan terus bertumbuh selama pemakai perangkat lunak bajakan menjamur.
Pemakaian perangkat lunak bajakan memang tidak baik. Selain bisa merugikan pencipta karya tersebut (yang berarti tidak mengasihinya), masyarakat juga dibiasakan atau dibudayakan untuk tidak menghargai karya orang lain, memiliki sikap gampangan (suka terhadap jalan pintas, dan tidak mau bekerja keras). Namun ketamakan kapitalisme juga tidak bisa kita biarkan, pencarian keuntungan yang tidak wajar adalah sikap anti kasih dan tidak ramah. Pasar harus menyesuaikan harga dengan daya beli. Apalagi jika pembelinya adalah pelajar atau mahasiswa yang sedang menuntut ilmu demi masa depannya. Daya beli di negara “dunia ketiga” pastilah jauh berbeda dengan negara maju. Jadi pemakai dan pencipta harus saling peduli dengan kondisi masing-masing atau saling mengasihi.
Pemerintah dapat menjadi sarana agar pemakai dan pencipta perangkat lunak dapat saling menguntungkan secara wajar, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 contohnya. Pada Bab XIII diatur tentang ketentuan pidana bagi pelanggar hak cipta, dan pada Bab II bagian Lima, diatur tentang Pembatasan Hak Cipta, contohnya pada pasal 15 dinyatakan demikian, “dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah”.
Namun pemerintah tidak boleh puas dengan memiliki undang-undang di atas, pemerintah harus terus mengkajinya agar pencipta dan masyarakat semakin mendapatkan keuntungan. Negara juga harus menjalankan undang-undang yang telah dibuatnya sendiri (Indonesia memiliki dasar-dasar negara yang luar biasa, Pancasila, UUD 45, Dll. Namun sering tidak diaplikasikan) . Dengan demikian, pemerintah benar-benar mengasihi warganya.
Kita memang tidak membenarkan “Robin hood” tetapi kita juga tidak setuju dengan “Land Lord” yang tamak. Budaya kita di Indonesia adalah gotong-royong dan ramah-tamah. Sikap tersebut tidak lain adalah bukti kasih kita kepada sesama manusia, dan itu membuktikan bahwa kita adalah bangsa bermartabat dan terhormat. Mari kita tunjukkan kepada dunia, Indonesia mengasihi dan menghargai sesama, termasuk dalam pemakaian perangkat lunak. (AS)